Wednesday, April 4, 2018

Antara Kopi, Buku dan Aksi


teks : raihan lubis
foto : raihan lubis dan koleksi Mirza Jaka Suryana


Dari sepeda kopi turun ke warung kopi. Tapi meski sudah berubah tempat kini, tidak ada yang beda dengan cara Mirza Jaka Suryana (39) yang kerap dipanggil Jaka dalam menghadapi para pembeli kopi racikannya- karena tetap ada buku-buku yang menemani. Baginya, kopi dan buku hanya sebuah medium untuk melakukan banyak aksi.


"Mau minum apa? tanya Tole begitu kakiku melangkah masuk ke warung kopi Epikurian: Unbreakable Coffee, sore itu.

"Ada yang dingin? tanyaku pada Tole. Maklumlah cuaca Jakarta terik sekali hari itu.

"Mau es krim?" balas Tole. Aku mengangguk dan tidak berapa lama tersajilah segelas penuh es krim rasa vanila campur strawberry dan coklat di depanku. "Ngopinya sebentar lagi," kataku pada Tole sambil menyendok es krim itu ke mulutku.

Warung kopi bernama Epikurian: Unbreakable Coffee yang berukuran 3x3 meter persegi berdinding kaca itu terletak persis di sebelah gerbang kampus IISIP Jakarta di kawasan Lenteng Agung. Kaca-kaca dinding itu ditulis dengan bermacam  kutipan dalam bahasa Inggris. Sebelum masuk ke warung, di sisi kanan ada sepeda listrik yang digantung.

"Bang Jaka lagi keluar. Ini bapaknya Bang Jaka," kata Tole mengenalkan bapak si pemilik warung kopi yang duduk di sebelahku. Kami ngobrol-ngobrol sebentar dan tidak berapa lama sang pemilik warung datang.

"Itu sepeda saya waktu masih jualan kopi keliling," ujar Jaka sore itu pada saya ketika kami sudah mulai ngobrol diselingi menyesap kopi arabika papua V60 yang sudah ada di depan saya. Dia kemudian berkisah, awalnya dia membuka warung kopi yang agak jauh dari kampus IISIP. Dan entah karena tempatnya kurang strategis, usaha warung kopinya mandeg. Sarjana Hubungan Internasional jebolan IISIP ini kemudian memutuskan berjualan kopi keliling dengan sepeda listriknya.

Jadilah dia berkeliling seputaran Lenteng Agung. Tapi bukan seperti banyak kopi sepeda keliling yang acap kita temukan. Jaka membawa biji-biji kopi berbagai varietas yang sudah disangrai, grinder kopi, beragam alat seduh dan perlengkapan lainnya selain buku-buku tentunya. Hampir setahun dilakoninya berjualan kopi keliling sampai akhirnya dia menemukan tempat yang sekarang ini. Ilmu menyeduh koppi dipelajarinya secara otodidak lewat youtube. "Tidak ada yang tidak dapat dipelajari di zaman digital ini," katanya.

Sejak Jaka punya warung kopi, buku-buku koleksinya diboyong ke warung. Hampir seluruh dinding tertutup buku. Sedikitnya kata Jaka, ada 5.000 buku. Mulai dari buku komik sampai buku filsafat. Dari buku karya Mohammad Hatta sampai buku karya Stephen Hawking. Sebagian buku masih tersimpan di rumahnya.

foto koleksi Jaka
"Jadi ya begitu. Saya ketemu tempat ini dan saya pikir yah menetap saja. Karena bagi saya kopi dan buku hanya medium saja.  hanya sebuah alasan saja untuk mengumpulkan orang. Karena untuk mengumpulkan orang tentu perlu tempat agar mereka bisa ngobrol-ngobrol. Orang perlu tempat untuk membahas ide-ide dan pada akhirnya melakukan aksi," katanya.

Jaka tak sekedar asal bicara. Hari Pahlawan tahun lalu disinya dengan melakukan aksi bersama rekan-rekannya mengumpulkan satu juta ton buku untuk dibagikan ke berbagai pustaka bergerak di Indonesia. Itu belum terhitung aksi-aksi lainnya seperti diskusi-diskusi buku dan juga kegiatan seni yang acap digelar di warung kopinya.

Jaka mengaku tidak ingat persis kapan dia mulai berpikir bahwa kopi dan buku hanya sebuah medium saja. "Ehm, tapi sepertinya sejak saya mulai kenal dengan pemikiran-pemikirannya Hidayat Nataatmadja, juga tassawuf, pikiran saya mulai berubah dalam memandang sesuatu." Hidayat Nataatmadja adalah seorang peneliti dan penulis Indonesia di bidang ekonomi pertanian yang gemar melakukan eksplorasi ke dunia filsafat ilmu.


koleksi foto Jaka
Obrolan kami terputus beberapa saat, karena ada dua orang teknisi organ yang juga datang sore itu ke warung kopi miliknya. Di masa tenggang itu saya kemudian menyeruput kembali arabika papua yang diseduh ala V60 oleh Hairun Mohdar sang baracik- lelaki asal Maluku yang sedari tadi berada di balik meja kopi. Hairun adalah adik kelas Jaka di IISIP.

"Dulu saya begitu ideal dalam memandang buku. Sumber pengetahuanlah, apalah, apalah. Tapi sekarang saya menganggapnya cuma medium untuk melakukan sesuatu yang lebih besar lagi, untuk melakukan banyak aksi." lanjutnya lagi.

Percakapan kami sore itu memang agak terputus-putus. Karena Jaka harus membagi perhatiannya pada organ merek Lowrei yang tengah diperbaiki dua orang teknisi yang baru datang. Sebuah organ tahun 80-an yang  akan diletakkan di bagian sisi kanan warung, sayangnya organ tersebut dalam keadaan rusak. "Siapa saja nanti boleh main." kata Jaka. Tapi sayangnya teknisi organ tersebut mengaku sepertinya alat yang rusak dari organ tersebut sudah langka adanya.

Tidak berapa lama kami mengobrol, ibu Jaka datang membawa gorengan untuk dijual di warung miliknya. Ayahnya yang sejak awal menemani saya di warung tersebut memperkenalkan perempuan tengah baya yang baru datang itu.

Foto Koleksi Jaka
"Ini ibunya Jaka. Kami tinggal di belakang sini," kata ayahnya menunjuk jalan di samping warung. Senang sekali rasanya melihat keluarga tersebut. Saya salami ibunya. Kemudian kami lanjut lagi ngobrol-ngobrol. Tapi kadang terputus lagi, karena beberapa anak mahasiswa IISIP yang kebetulan lagi ngopi-ngopi di warung itu juga ikutan ngobrol. Jadilah kami bicara hilir mudik dari utara ke selatan.

Tapi sore itu sungguh menyenangkan- tak peduli betapa penatnya isi kepalaku. Karena sore itu mengalirkan banyak energi positif- bertemu dengan jiwa-jiwa muda yang begitu bersemangat tentang hidup mereka. Ceritanya, anak-anak mahasiwa itu ternyata mengajar kelas malam bagi anak-anak yang tak beruntung di kawasan Klender Jakarta.

"Kami lakukan sebisa kami, ada yang mengajar membaca, berhitung, bahasa Inggris, bahasa Rusia, macam-macam, Kak. Karena banyak yang di sana usia sekolah tapi tidak bersekolah karena tidak mampu," kata Imam, salah satu mahasiswa yang ikut nimbrung ngobrol. Makin sore anak-anak mahasiswa itu makin ramai. Ada yang datang ada pula yang pergi.

"Beginilah tempat saya. Tapi ya lumayanlah untuk kumpul-kumpul, ngobrol-ngobrol, diskusi," ujar Jaka lagi.

Waktu jua yang membuatku terpaksa meninggalkan warung kopi dengan ribuan buku itu. Kali lain sepertinya aku akan datang lagi. Terima kasih Bang Jaka untuk pertemuan yang menyenangkan ini. Bagi kalian yang ingin mampir, warung buka dari jam 10 pagi sampai semampu kalian bertahan menyeruput kopi sembari menyesap sari pati ilmu dari setiap buku- sebagaimana tertulis di depan pintu masuk warung kopi ini. This coffee shop is unbreakable :)




Salam secangkir kopi!











No comments:

Post a Comment