Wednesday, March 28, 2018

Petani Kopi Edan Dari Selo

teks dan foto : raihan lubis


Orang-orang di Desa Samiran, Selo, Kabupaten Boyolali, menyebutnya bocah edan- hanya karena dia memilih menjadi petani kopi.



Namanya Heri Setiawan. Usianya tiga puluh tahun 24 November mendatang. Dia petani kopi sekaligus pemilik sebuah warung kopi. Sekolahnya tamatan SMK. Bapaknya petani palawija. Bersama keluarganya Heri tinggal di Desa Samiran, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Siang itu karena kedinginan, saya mampir di warung kopinya untuk menghangatkan badan.

Warung kopi Heri berada di jalur Boyolali - Magelang yang terletak di lereng Gunung Merapi dan Merbabu, tepat di tengah lekukan kedua gunung tersebut. Udara cukup mengigit di dataran dengan rata-rata ketinggian 1600 - 1770 mdpl. Tak heran walau siang hari, udara masih terasa menggigit tulang.

"Mau minum apa, Mba?" tanyanya begitu saya masuk ke warung.

"Saya mau coba arabika Selo," kata saya. "Soalnya saya melihat spanduk di depan warung."

"Tapi kualitasnya tidak begitu baik, Mba," akunya.

"Kenapa?" tanya saya balik.

"Petaninya belum petik merah semua. Masih petik sembarang. Tapi kalau Mba mau coba kopi lain ada," ujarnya menawarkan.

"Tidak apa-apa. Saya tetap mau arabika Selo. Ditubruk saja tanpa gula." Heri kemudian berlalu dari saya.

Tidak berapa lama dia datang dengan secangkir kopi panas. Sambil meletakkan cangkir dia mempersilahkan saya minum. Dari secangkir kopi itulah kemudian kami ngobrol-ngobrol.

Warung kopi kecilnya itu ternyata dibangunnya dengan susah payah. Awalnya Heri mencoba peruntungan dengan menjual kopi luwak, tapi gagal total. Kemudian masih dengan semangat membara dia menutup kios pakan burung dan juga usaha jual pulsa dan fokus dengan warung kopinya. Mesin sangrai dia rakit sendiri.

"Kan saya ini tamatan SMK, jadi saya coba rancang. Tapi teman yang ngelas. Saya tongkrongin selama dua minggu. Eh gitu jadi tidak terkira berapa kilo yang saya coba-coba roasting sampai hasilnya seperti yang saya inginkan. Saya belajar dari youtube untuk roastingnya," kisah Heri seopo ya, saya cari-cari ndak nemu artinya. Rupanaya, hahahahha," dia tertawa lebar.

mbari tertawa kecil mengingat suatu kejadian lucu ketika dia mencari-cari terjemahan di google translate dan kamus kata yang diucap 'krek' oleh si roaster. "Kan katanya kalau sudah krek itu berarti sudah matang, tapi krek itu

Selain membuka warung kopi, Heri juga meminta pada orang tuanya agar lahan mereka seluas satu hektar untuk ditanami bibit kopi arabika. Orang tuanya setuju tapi warga desanya geleng-geleng kepala karena Heri menebangi tanaman yang bukan kopi di lahan tersebut. "Saya tanam seluruh tanah dengan kopi. Orang desa bilang saya bocah edan, lahan kok ditanami kopi," katanya.

Di Desa Samiran yang juga bertetangga dengan Desa Jrakah dan Lencoh ini, bertani kopi tidak populer. Warga biasanya menanami lahannya dengan brokoli, wortel dan tanaman sayur lainnya. Tanaman kopi hanya ditanam satu dua pohon di antara tanaman lainnya atau ditanam di pekarangan rumah. Maklumlah cherry kopi di Selo dihargai sangat murah, hanya seribu atau seribu lima ratus perkilonya. Alasan para pengepul chery kopi menurut Heri karena petiknya tidak petik merah.

"Saya berusaha bilang sama warga kalau petik harus merah semua. Tapi ya itu, mereka ingin uang cepat dan pengepul juga mau petik sembarang gitu. Akhirnya ya saya akali, saya mau beli dengan harga tinggi kalau petik merah. Dan biar mereka semangat tanam kopi dan petik merah, saya beli cherry mereka lebih tinggi dari harga pengepul. Kalau pengepul cuma bayar seribu, saya bayar dua ribu lima ratus. Pengepul marah, terus saya malah bayar sampai empat ribu lima ratus. Sampai saya tutup kios pulsa sama pakan burung itu buat karena duitnya beli kopi semua," kenangnya.

Menurutnya, dulu pengepul marah-marah padanya karena merusak harga pasaran cherry kopi di Selo. Tapi sekarang, para pengepul malah menjual cherry padanya. "Pelan-pelan saya ajarkan yang punya tanaman kopi untuk petik merah. Biar kopinya bagus dan harganya juga bagus."

Kini pohon-pohon kopi yang ditanamnya sudah belajar berbuah. Dan siapa sangka Heri akhirnya juga mendapat bantuan bibit kopi dari dinas pertanian setempat atas usaha dan upaya yang dilakukannya selama ini.

"Ada 500 bibit bantuan yang diberikan pada saya," katanya menunjukkan jajaran bibit-bibit kopi ketika kami menelusuri kebun kopinya yang tak jauh dari warung kopinya. Bibit-bibit itu masih di dalam polybag di pinggiran kebunnya.

Sejenak dia berdiri lama memandangi kebun kopinya. Ada perasaan yang terpancar dari wajahnya yang tak bisa saya lukiskan dengan kata-kata.

Ah, anak muda ini luar biasa dan memang edan- batin saya.

Kalau kebetulan kalian melintasi jalur Boyolali - Magelang jangan lupa mampir ya. Warungnya tidak jauh dari warung jadah bakar Mbah Rubi yang cukup dikenal di lintasan tersebut.


Salam secanglir kopi.




No comments:

Post a Comment