Tuesday, March 6, 2018

Cerita Petani Kopi dari Sumba

Mama Irmayani Lende dan Kopi 'BOS'



Foto dan teks : Raihan Lubis

Biji kopi menari-nari di atas api
menari-nari sampai rupa jadi coklat hitam berseri-seri
di atas api, tangan Irmayani juga menari-nari
mencipta rasa dan wangi biji kopi

Keluarga petani kopi ini memanfaatkan biogas untuk kebutuhan memasak. Solar panel untuk listrik di rumahnya. Mereka bertani kopi sambil membangun kesadaran warga di sekitarnya.


Irmayani dan dua anaknya/ raihan lubis
Siang itu Irmayani Lende sibuk memotong pola untuk baju-baju seragam pesanan dari salah satu kantor di Waitabula. Kain-kain berserakan di meja dan juga lantai ruang depan rumah mereka yang berdinding kayu. Dua anaknya sedang makan di atas dipan di ruang yang sama dengannya. Anjing kampung milik mereka yang berbulu coklat hilir mudik mencari perhatian. Sesekali petani kopi ini menoleh kepada dua anaknya yang sibuk dengan piring nasi masing-masing. 

Perempuan berusia 32 tahun ini tinggal bersama suami dan dua anaknya di Desa Wekekora Kecamatan Wewewa Tengah, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Rumahnya sederhana, ukurannya hanya berkisar 24 meter persegi dan seluruh ruangan dari depan hingga ke belakang hanya berlantai tanah. Suaminya bekerja sebagai cleaning service di kantor Polsek Wewewa Tengah.

Pertemuan kami siang itu sesuatu yang sangat kebetulan sekali. Kebetulan saya mencari-cari petani kopi dan kebetulan pula saya berbelok di sebuah persimpangan jalan dan kebetulan bertemu dengan tetangga Irmayani Lende- yang akhirnya membawa saya pada Irmayani ketika saya bertanya padanya petani kopi di sekitar daerah itu.


"Mari masuk, maaf berantakan sekali," katanya tersenyum manis siang itu. "Ini lagi sibuk menjahit pesanan baju seragam. Sudah dua minggu listrik masuk ke rumah kami jadi bisa menjahit kapan saja," lanjutnya. Irmayani yang pernah mengambil kursus menjahit di Kupang ini memang lagi kebanjiran pesanan. "Kadang saya mau latih itu para sodara yang perempuan untuk jahit, tapi dorang son mau. Dorang lebih mau jadi TKW saja, padahal pulang-pulang suka tidak bawa uang juga," katanya lagi sambil membereskan kain-kain yang berserakan di lantai. 

"Persediaan kopi lagi tidak banyak, tinggal setengah karung saja," jawabnya begitu saya tanya apakah dia punya stok kopi atau tidak. "Ini kopi BOS. Buatan Orang Sumba, tapi beta belum kasih itu merek di plastiknya karena belum ada uang." Irmayani Lende tertawa kecil. 


Green bean kopi robusta dari kebunnya yang tidak petik merah seluruhnya itu digelarnya di atas tampi. "Saya goreng sebentar-e." Irmayani kemudian pergi ke dapur dan menuju halaman belakang di mana terdapat tungku. "Kalau goreng kopi saya tetap pakai kayu. Kompor gas buat masak biasa saja. Gas itu dari biogas kotoran babi kami. Cuma kami yang di kampung ini pakai biogas dari kotoran babi, yang lainnya tidak mau. Ah malas sekali mereka," keluhnya.

Api menjilat-jilat bagian bawah kuali. Tangan Irmayani Lende terus mengongseng green bean kopi. Bau harum kopi yang digongseng menyeruak di halaman belakang rumahnya. "Saya menggoreng kopi agak hitam, suka?" tanyanya. 




Sambil tangannya mengayun-ngayunkan penggorengan di atas kuali dan mengaduk-aduk biji-biji kopi, Irmayani berrcerita kalau dia anak petani kopi dan kini juga menjalani hidup sebagai petani kopi. Tapi mereka kini tidak hanya menanam tanaman kopi di atas tanah yang diberikan mertuanya itu. Irmayani dan suaminya juga menanam cengkeh, kemiri dan sedikit vanili. Mereka juga beternak babi dan ayam. 

Baru dua minggu Irmayani dan keluarganya menikmati listrik dari PLN. Sebelumnya, mereka memakai solar panel yang disebut Irmayani dengan ‘kaca sinar’. Solar panel ini didapat dari kantor desa. 

“Kalau dorang rajin, tidak usah pergi jadi TKW ke Malaysia. Tapi dorang malas, jadi tidak bisa makan apa-apa. Itu sudah,” katanya sambil menggongseng itu biji-biji kopi robusta sampai menjadi medium dark. Begitu biji-biji kopi dituang dari kuali ke tampi untuk didinginkan, wajahnya sumringah. "Ini kopi BOS," katanya lagi. 





No comments:

Post a Comment