Wednesday, March 7, 2018

Cerita Kopi dari Bukit Menoreh

Foto dan teks : raihan lubis

Burung menari
kabut menepi
dan di meja ada secangkir kopi 

Bukit Menoreh, Kulonprogo / raihan lubis

Dari secangkir kopi para anak muda ini melakukan konservasi satwa liar di Bukit Menoreh.

Hawa sejuk dengan pemandangan Bukit Menoreh membentang di sisi kanan jalan. Bukit Menoreh sendiri membentang di tiga kabupaten, Kulon Progo, Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Magelang. Mobil yang membawaku siang itu melintas di Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulonprogo. Girimulyo merupakan daerah wisatanya Kulonprogo. 

Cuaca siang itu sangat bersahabat. Kaca jendela mobil kuturunkan. Sebagai komuter yang hidup antara Bogor dan Jakarta, agak-agak sulit menemukan udara bersih dan pemandangan seperti ini. Jadilah aku agak-agak norak sedikit, sebentar-bentar turun dari mobil dan foto sana sini. 

Perjalanan siang itu merupakan sisipan dari perjalanan dinasku. Sehabis pekerjaan utama selesai, aku meminta Mas Joko - yang menyetir mobil - untuk membawaku ke warung kopi lokal. Mas Joko sumringah ketika aku bertanya akan dibawa ke mana. "Pokoknya nanti pasti ibu suka," begitu katanya. Mobil pun berjalan dengan kecepatan sedang, satu objek wisata kami lewati -  Gua Kiskendo. Sebentar kemudian jalan menanjak, kemudian datar, banyak tikungan meski tidak begitu tajam. Suara grup band Koes Plus yang mendayu-dayu dari tape mobil membuat siang itu benar-benar membentuk satu harmoni penggalan siang yang indah.

Mobil kemudian berhenti di seberang papan nama bertuliskan 'Coffee - house of Kopi Sulingan'. Setelah mobil diparkir, kami berjalan ke dalam sebuah gang nan asri. Beberapa rumah joglo dengan halaman luas, pohon-pohon rindang dan banyak tanaman. Ada juga kandang ternak kambing di sisi-sisi rumah. Suasana sepi, udara yang segar, langit yang cerah, ah sungguhlah paduan yang begitu bagus. Kaki kami melangkah ke sebuah rumah sederhana khas desa-desa di Jawa, rumah joglo beratap genteng. Di dalam rumah, ada dua orang pemuda sedang bercengkrama.



Dua pemuda itu bernama Kelik dan Imam. Rumah itu punya Kelik. Rumah tempat mereka mengelola grean bean Bukit Menoreh dan juga beberapa varietas green bean dari luar Bukit Menoreh. Ada mesin grinder kecil di dekat tumpukan-tumpuakn grean bean yang disimpan dalam kontainer plastik berbentuk kotak berukuran sekitar 300 liter. Begitu kami duduk, Kelik menawarkan beberapa kopi yang dia punya. Aku memilih robusta Bukit Menoreh olahan mereka yang diberi nama 'Kopi Sulingan'. Arabika tidak panen tahun ini, kata Kelik. 

"Kopinya ditubruk saja," kataku. Ketika kopi sudah terhidang, pembicaraan kemudian ngarol ngidul entah kemana. Sampailah pada cerita kenapa nama kopinya 'Kopi Sulingan'.

Dikisahkan Imam, awalnya mereka melakukan konservasi satwa di sekitar Bukit Menoreh utamanya burung yang populasinya sudah nyaris punah. Salah satu burung yang jarang terlihat adalah Sulingan. Burung ini suka bertengger di pohon-pohon kopi. Dalam perjalanan melakukan konservasi itu, mereka menemukan banyak pohon-pohon kopi liar yang tumbuh di hutan-hutan sekitar desa. Di desa mereka sendiri, pohon-pohon kopi ditanam sembarang dengan pohon-pohon lain dalam satu kebun. 

"Jumlahnya tidak banyak, hanya sebagai pohon selingan saja. Dulu kalau menurut cerita orang-orang tua di sini, harga kopi pernah jatuh. Kemudian diganti dengan coklat, tapi juga sama saja. Jadi kopi bukan tanaman utama kebun," jelas Imam.

Ide untuk kembali bertani kopi menurut mereka dapat beriringan dengan usaha konservasi yang mereka lakukan. Penduduk juga diedukasi untuk kembali 'menghutankan' ladang-ladang mereka yang berada di lereng-lereng Bukit Menoreh untuk mencegah bencana longsor. 

Kelik dan Imam adalah dua dari beberapa orang pemuda yang giat melakukan konservasi dan edukasi bagi warga di Jatimulyo. 

Tidak hanya mengurusi kopi, mereka juga melakukan budidaya lebah tak bersengat atau yang dikenal sebagai stingless bee. Lebah dengan nama latin Trigona spp ini merupkan lebah asli Indonesia, di Sumatera dikenal dengan nama Kelulut dan khusus di Sumatera Barat disebut Galo-galo sementara di Jawa dinamakan Klanceng. Lebah jenis ini merupakan salah satu serangga yang membantu penyerbukan. Orderan madu Klanceng mereka entah sudah kemana saja. Selain itu, mereka juga memproduksi gula semut- gula khas Kulonprogo. Bentuk gulanya seperti gula pasir, tetapi berwarna merah seperti gula merah. Bahan utama gula ini adalah nira pohon kelapa. 

Sungguh luar biasa apa yang dilakukan anak-anak muda ini. Mereka tidak hanya memperbaiki habitat yang telah rusak, tapi juga melindungi berbagai populasi yang telah terancam punah sembari membangun citra positif tanaman kopi pada penduduk desa. Sila kunjungi mereka dan seruputlah kopinya. Jika tak ingin meneguk kopi pahit, bolehlah dicampur dengan gula semut sesukanya.

Salam secangkir kopi. 




No comments:

Post a Comment